Selasa, 16 Juli 2013

#RamadhanBercerita 5 PersaMinoritas #3



Sebelum baca ini, meluncur dulu ke PersaMinoritas #1 adan #2 ya, kan uda dibilangin kemaren, panitia tidak menyediakan kompas, apalagi peta. Soalnya lagunya gak ngerock, Peta Sihombing.
Setelah murid semua berkumpul dengan susah payah, Pembina pun mulai membuka acara yang jam tidur anak kecil tersebut. 

Pembina              : Semuanya mala mini kita akan mengadakan Jurit malam ke kuburan. Kita akan berjalan menuju lokasi. Sekarang, lepas hasduk kalian dan jadikan penutup mata, Kalian saya beri waktu 1 menit. Sekarang!

Dengan tergesa-gesa, semua murid akhirnya melepas hasduk lalu menutup mata mereka sendiri, bahkan beberapa ada yang menutup dadanya, katanya mata manusia adalah Hati. Semua kacau, banyak yang shock dan seakan tidak percaya dengan apa yang sebentar lagi akan kita lakukan, semua terkejut bak melihat Joshua duet bersama Susan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan logat Malaysia. 

Minggu, 14 Juli 2013

#RamadhanBercerita4 PersaMinoritas #2



Sebelumnya, baca dulu PersaMinoritas #1 biar ga tersesat, panitia tidak menyediakan kompas, apalagi hati yang kosong untuk diisi gombalan papa kamu.

Setelah selesai masak makan malam untuk bocah-bocah tersebut (saya juga bocah pada saat itu), saya dan teman-teman mendapat arahan untuk segera Ibadah sesuai dengan Kepercayaan masing-masing. Seorang Pembina menghampiri saya.

Pembina              : Rama, kamu ga sholat kan?
Saya                    : Tidak yanda. 

Sebentar, konsep memanggil Pembina dengan sebutan “Yanda” atau singkatan dari ayahanda sebenarnya aneh. Karena semuda apapun orang yang menjadi Pembina pramuka Siaga akan dipanggil Ayahanda bila laki-laki, Bunda bila perempuan, dan Marshanda apabila Pembina tersebut jago acting nangis.

Sabtu, 13 Juli 2013

#RamadhanBercerita3 PersaMinoritas #1



Terkadang menjalani kehidupan sebagai minoritas itu melelahkan, namun menjalani kehidupan sebagai mayoritas ternyata justru membosankan, apalagi menjalani hidup sambil makan kolak pisang dari hidung dan anus. Susah. 

Saya pernah menjalani hidup sebagai mayoritas di Bali dan tidak ada yang menarik, semua sama, tidak ada tantangan dalam hidup sedikitpun. Rasa penasaran tentang perbedaan tidak akan pernah bisa terjawab. Apa yang saya lihat adalah apa yang ada didalam diri saya, kecuali Tetek perempuan, karna kebetulan saya ga punya, punya sih, tapi Gede sebelah. Mau liat? Vaksin Alzheimer dulu.

Satu warna berada dalam satu bentuk kehidupan tidaklah menarik, harus ada warna beda yang mengisi, sehingga akan lebih terlihat hidup dan menggairahkan. Ibarat Lingerie celana dalam garis-garis hitam putih akan lebih sexy daripada warna putih, ber-renda dan bau.  

Ngomong-ngomong, saya belum ganti celana dalam dari kemaren.

Jumat, 12 Juli 2013

#RamadhanBercerita2 Buka bersama, Malu sendiri.



Kalo kita ngomong masalah minoritas dan mayoritas, pasti ga ada habisnya, ibarat kuku, kalo dipotong tumbuh lagi. Ibarat air, selalu ada siklus dan tidak akan berhenti. Ibarat Obama, itu artis iklan salah satu Universitas Indie Indonesia.

Minoritas atau Mayoritas bukanlah permasalahan besar, yang justru sering jadi masalah adalah pola pikir individu, ada yang selalu mengagung-agungkan mayoritas, ada yang selalu minder jadi minoritas, ada yang kalo cebok selalu pake kertas,  jorok, apalagi kertas bungkus bekas tahu telor, pedes-pedes amis. Hih!
Tapi untungnya kehidupan minoritas saya selalu berada dilingkungan yang orang-orangnya bisa berpikiran terbuka, bahkan beberapa ada yang rela selangkangannya terbuka demi sesuap nasi, inikah Indonesia yang kita banggakan?

Saya sempat bersekolah di Malang, tepatnya di SDN Lowokwaru VII, pada waktu itu yang menjabat sebagai kepala sekolah adalah ibu Hj.Rottein, dengan tukang kebun bernama pak Sis, hobby tukang kebun tersebut cukup aneh, suka mengejar anak-anak sambil berusaha menutup hidung anak tersebut dengan tangan bekas ngelap ketiak yang berkeringat. Anak yang sering jadi korban bernama Shandy, cowok tentunya. Ini nyata, kalo ada yang kenal temen SD saya bisa ditanyakan langsung.

Di SD tersebut saya belum mengenal apa itu minoritas dan mayoritas, saya hanya mengenal cara bertahan dengan uang 2000 rupiah dimana harga frutang orange sudah mencapai seribu rupiah pada waktu itu.  Naas.

Kamis, 11 Juli 2013

#RamadhanBercerita 1st : Ada Knalpot Vespa Gak?



Perkenalkan, Gusti Bagus Rama Maha Putra, mahasiswa sastra inggris semester 2 hobby Ber-minesweeper-ria dan berbulu mata lentik, seorang minoritas dari bali yang berusaha survive ditengah desakan  mayoritas dan celana dalam yang kesempitan.

Tidak banyak hal yang bisa minoritas lakukan dilingkungannya pada saat bulan Ramadhan. Bukan masalah boleh atau tidak, tapi patut atau tidak untuk dilakukan. Karena pada dasarnya, pancasila ada lima. Kalo Mas Panca itu tukang jual pulsa deket rumah.

Hal-hal tersebut contohnya, makan didepan orang yang sedang berpuasa,  mengganggu orang yang lagi tarawih, apalagi menyembunyikan kubah masjid. Bahaya. Selain berat, kegiatan tersebut tidak ada fungsinya, hanya akan membuka jalan lebih lebar untuk pergi ke neraka, walaupun neraka-nya beda. 

Efek samping apabila kita melakukan hal yang tidak mencerminkan toleransi kehidupan beragama akan berakibat fatal. Apalagi sebagai minoritas. (lap air mata). Tapi Ramadhan tahun lalu saya punya cerita tentang pengalaman saya pertama kali menjadi minoritas di Malang.

Ramadhan tahun lalu saya sudah berada di malang dan resmi menjadi minoritas yang kesepian. Kenapa? Karna saya baru disini, temen cuma dikit, pacar jauh, Tuhan apalagi.

Rokey Rebirth!!!

Selamat datang di blog lanjutan dari robot-autis.blogspot.com .

Udah buka blognya? ada niat nge-close blog ini? gapapa, GWA maklum.

Anyway, kembali berblogging-rio (berblogging-ria itu buat cewe) dan curhat di dunia maya sebenarnya sudah sangat terlambat untuk anak muda berkulit eksotis seperti saya. Kenapa? Karena perbedaan cuaca? Bukan. Mungkin karena sudah terlalu uzur untuk memulai lagi.

Tapi kata pepatah, tidak ada kata terlambat untuk belajar, apalagi belajar mencintaimu.