Jumat, 12 Juli 2013

#RamadhanBercerita2 Buka bersama, Malu sendiri.



Kalo kita ngomong masalah minoritas dan mayoritas, pasti ga ada habisnya, ibarat kuku, kalo dipotong tumbuh lagi. Ibarat air, selalu ada siklus dan tidak akan berhenti. Ibarat Obama, itu artis iklan salah satu Universitas Indie Indonesia.

Minoritas atau Mayoritas bukanlah permasalahan besar, yang justru sering jadi masalah adalah pola pikir individu, ada yang selalu mengagung-agungkan mayoritas, ada yang selalu minder jadi minoritas, ada yang kalo cebok selalu pake kertas,  jorok, apalagi kertas bungkus bekas tahu telor, pedes-pedes amis. Hih!
Tapi untungnya kehidupan minoritas saya selalu berada dilingkungan yang orang-orangnya bisa berpikiran terbuka, bahkan beberapa ada yang rela selangkangannya terbuka demi sesuap nasi, inikah Indonesia yang kita banggakan?

Saya sempat bersekolah di Malang, tepatnya di SDN Lowokwaru VII, pada waktu itu yang menjabat sebagai kepala sekolah adalah ibu Hj.Rottein, dengan tukang kebun bernama pak Sis, hobby tukang kebun tersebut cukup aneh, suka mengejar anak-anak sambil berusaha menutup hidung anak tersebut dengan tangan bekas ngelap ketiak yang berkeringat. Anak yang sering jadi korban bernama Shandy, cowok tentunya. Ini nyata, kalo ada yang kenal temen SD saya bisa ditanyakan langsung.

Di SD tersebut saya belum mengenal apa itu minoritas dan mayoritas, saya hanya mengenal cara bertahan dengan uang 2000 rupiah dimana harga frutang orange sudah mencapai seribu rupiah pada waktu itu.  Naas.


SD saya termasuk SD yang terpandang dilingkungan sekitar, kebetulan bukan SD alam Gaib, jadi gampang dilihat dan dipandang orang. SD itu terletak di jalan sarangan. Dekat dengan Mitra Dua, Swalayan dimana saya sering beli Ice cone Mc Donald sepulang sekolah dengan harga seribu seratus rupiah sudah termasuk PPN. Saya bangga. Kenapa? Karna dari SD saya sudah turut bayar pajak sendiri.
Teman-teman SD saya cukup friendly dengan kehadiran sesosok mahluk berdarah Bali ini. Namun kepolosan dan keluguan anak SD dan ketidak-tahuan tentang apa itu mayoritas dan minoritas ternyata berakibat sangat buruk.

Saya punya teman bernama A’an, nama lengkapnya A’an Jing. Hehe. A’an disuatu sore mendatangi rumah saya untuk mengajak saya menghadiri buka bersama di mushola.

A’an       : Maa Ramaaa? (nadanya udah ketebak kan? Dan udah dijadikan Bit oleh Fito)
Rama            : Paa apaaaa? (keluar rumah sambil megang kartu yu gi oh)
 A’an             : Ikut aku ayo, buka bersama di mushola, gratis, makan-makan rame-rame.
 Rama           : Buka bersama? Aku kan gak puasa.
 A’an             : Ikut aja gapapa, makanannya enak.
 Rama           : (tergiur dengan lugunya) Ayo deh, aku pake baju apa?
A’an              : Pokoknya pake sarung, kalo ada peci pake juga, bajunya lengan panjang.
Rama            : Ada, punya Mas Angga (kakak sepupu). Tapi kebesaran.
A’an              : pake aja, yang penting makan-makan! (dengan nada ajakan masuk MLM)
Rama            : Tapi ntar aku jangan ditinggal, aku malu sendiri disana.
A’an              : Iyaa, santai aja, ntar aku temenin trus anter kamu pulang sebelum sholat maghrib. Ayo cepet ganti.
Rama           : Iya deh! (masuk ke rumah sambil kegirangan)

 Akhirnya saya memutuskan memakai sarung kotak-kotak warna biru-langit yang panjangnya hampir sama dengan tinggi badan saya dan sebuah peci yang berhasil menutup dari ujung kepala sampai hidung. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat itu saya lebih terlihat seperti Manekin anak berkostum dewasa edisi Ramadhan, Cuma bedanya saya bisa ngaceng, ­Manekin engga.

Keluar rumah dengan dandanan yang tidak lazim tentu saja menarik perhatian banyak orang, lalu saya dan A’an pergi ke Mushola dekat rumah yang berjarak hanya sekitar 500 meter. 500 meter terasa amat sangat jauh apabila kalian berjalan dengan kostum seperti itu.

Sampai di tempat tujuan, saya sempat terhibur karena cukup banyak anak-anak yang berpakaian tidak jauh beda dengan saya. Mungkin ini semacam parade fashion anak versi Ramadhan dan Oversize. Saat yang ditunggu pun tiba, minuman pembuka datang, dibagikan ke seluruh anak. Semua dengan lahap menghabiskan minuman gratis tersebut, saya curiga, mereka bukan anak-anak biasa, tapi rekonstruksi hidup dari mayat-mayat pekerja rodi jaman Jepang. Menghabiskan satu gelas koktail buah dalam waktu kurang dari satu menit bukanlah skill anak kecil kebanyakan. Ini konspirasi.

Berlanjut kepada makanan utama, semoga dibagikan nasi kotak oleh panita acara buka bersama tersebut. Nasi kotak dengan menu yang sangat lengkap, dan menggugah selera. Sekali lagi anak-anak rekonstruksi hidup tadi melahapnya kurang dari 10 menit. Sangar. Mungkin gigi dan enzim  mereka dislokasi, dari mulut pindah ke lambung. Saya menikmati dengan perlahan dan penuh cucuran air mata, seakan-akan nasi kotak tersebut adalah nasi kotak terakhir yang akan saya temui dihidup saya.

Selesai makan, saya pergi ke kasir untuk bayar, hehe, engga lah. Saya duduk sendirian mencari A’an yang daritadi ternyata menghilang dari pandangan. Sayup-sayup terdengar suara Adzan Maghrib, dan serentak semua anak” pergi untuk mengambil wudhu, saya hanya terduduk dan tidak bergeming sedikitpun, ramainya anak-anak dan panitia yang satupun tidak saya kenal selain A’an membuat awkward moment ini semakin menjadi-jadi. Keringat dingin mulai bercucuran, jantung mulai berdebar, rambut mulai rontok, gunakan peditox.

Dan saya memberanikan diri untuk beranjak dan bertanya kepada salah seorang panitia. 

Rama          : Mas, liat A’an?
Panitia         : A’an? Yang tinggal di pasir putih, anaknya pak Aji sama bu Am itu? yang kalo tidur katanya suka ngompol, tapi keluar tai? (berlebihan)
Rama           : iiiiiiiiyaa mas, kemana yah?
Panitia          : Loh, baru aja pamit pulang, katanya sakit perut, jadi ga ikut Sholat Maghrib disini, ayo dik ambil    wudhu dulu trus sholat bareng temen-temen kamu. (nunjuk anak-anak hasil rekayasa genetika tadi)
Rama            : ………. 

Seketika saya benar-benar sadar, nama panjang A’an bukan A’an jing, tapi A’an jiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnggg!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar